Puluhan Massa “FRONTAL” Aksi Di Kantor DPRD Sulteng
BERITA MORUT, Palu, (14/07) Puluhan massa dari “Front Aksi Rakyat Tolak Omnibus Law (FRONTAL)” melakukan aksi penolakan RUU Omnibus Law yang akan disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 16 Juli 2020 nantinya.
Aksi massa yang terpusat di Kantor DPRD Provinsi Sulteng ini, mendapatkan pengawalan ketat dari pihak Kepolisian Sulawesi Tengah.
Dalam orasinya, Agus yang selaku korlap aksi menjelaskan bahwa “semangat dari RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang akan disahkan nanti sarat dengan kepentingan kelas pemodal yang sekarang bercokol dalam kekuasaan negara”.
Richard Labiro, dari Yayasan Tanah Merdeka menjelaskan bahwa, Omnibus Law adalah produk hukum yang memberikan ruang bagi kepentingan oligarki. Dalam RUU Cipta Kerja, ada begitu banyak aturan yang dirangkum kedalam Rancangan tersebut. Dan bila dianalisa, justru akan berkonsekuensi terhadap penghilangan hak- hak buruh. Misalnya penghapusan aturan tentang hak cuti haid, melahirkan, sakit, dan memperingati hari raya besar keagamaan.
Dia menambahkan, Omnibus law juga memfasilitasi perampasan lahan bagi petani. Bila diperhatikan beberapa point pada RUU Cipta Kerja, justru besar kemungkinan syarat administrasi dalam proses perizinan akan permudah. Situasi ini justru akan memperpanjang konflik agraria di Indonesia,
Sektor Pendidikan yang juga termaktub dalam RUU Cipta kerja/Omnibus Law tidak luput dari ancaman komersialisasi dan privatisasi. Hal ini disampaikan oleh Nanda selaku ketua LMND Kota Palu.
Dalam pasal 68 RUU Cipta kerja, justru makin membuka ruang bagi komersialisasi dunia Pendidikan untuk kelas bermodal. Maka tidak heran, komersialisasi Pendidikan yang vulgar ini berkonsekuensi terhadap makin mahalnya akses Pendidikan. Sehingga benar, Pendidikan hanya diperuntukan bagi orang kaya. “Jelas Nanda”
Dia menambahkan, RUU Cipta kerja ini sejak awal terkesan ditutup-tutupi. sejak proses legislasinya hingga pada diserahkannya draf kepada DPRD RI tidak mengedepankan keterbukaan kepada publik. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada satupun laman pemerintah dan DPR yang memuat naska akedemik RUU tersebut. Sehingga transparansi terhadap publik lagi-lagi dikangkangi oleh Negara hanya demi kepentingan oligarki.
Taufik dari Jatam Sulteng dalam orasinya menerangkan bahwa, dalam rencana pengesahan RUU Omnibus Law, bukan hanya mendorong buruknya eksploitasi terhadap buruh dan sumber daya alam, melainkan juga tidak memberikan jaminan terhadap keberlangsungan pengelolaan lingkungan hidup, salah satu contoh pasal yang memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup adalah dirubahnya pasal 88 dalam UU lingkungan Hidup, dan dihapuskannya pasal 93, yang artinya menghilangkan partisipasi publik dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Olehnya itu tidak ada alasan untuk tidak menolak RUU Omnibus Law ini yang sudah jelas tidak berpihak kepada rakyat dan akan melahirkan banyak masalah di negara ini. “Tutup Upik”
Aksi yang berlangsung selama dua jam lebih ini, diterima langsung oleh Ketua Komisi IV DPRD Sulteng Dr. Alimudin Pada beserta anggota Komisi IV lainnya.
Menurut dia, sekalipun bukan mereka yang menentukan atas pengesahaan RUU ini, tapi aspirasi dari massa aksi akan diteruskan kepada DPR-RI.
Walaupun penentu pengesahan ini ada di pusat, mereka (Komisi IV DPRD Sulteng) yang hadir saat aksi tadi secara tegas menyataka sikap mendukung apa yang dilakukan oleh massa untuk menolak Omnibus Law. Bentuk dukungan itu juga dijelaskan oleh Ketua Komisi IV DPRD Sulteng Dr. Alimudin Pada untuk mengundang massa aksi hadir dalam diskusi yang akan dilakukan oleh pihak DPRD Provinsi Sulteng untuk membicarakan terkait penolakan RUU Omnibus Law.
Selain pernyataan sikap, anggota DPRD Sulteng yang menyambut massa aksi itu diminta untuk melakukan Pencoretan “Tolak Pengesahaan RUU Cipta Kerja” yang dibawah oleh massa aksi.
Setelah melakukan pencoretan tersebut, massa aksi langsung membubarkan diri secara teratur Kembali ketempat mereka masing-masing.
Jatam Sulteng/HM