MORUT- Soal Mahar politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau juga dikenal dengan istilah ‘uang perahu’, yaitu seorang kandidat membayar uang agar mendapatkan kendaraan di partai politik agar dicalonkan. Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ restu dan dukungan dari parpol. Mereka berargumen, ini perlu untuk menggerakkan mesin politik dalam helatan pilkada serentak 2024.
Dalam pencalonan kepala daerah seperti Gubernur, Bupati dan Walikota, nilai transaksi dibawah tangan ini sangat fantastis mencapai miliaran rupiah untuk seorang kandidat kepala daerah mendapatkan dukungan. Semakin besar uang yang disiapkan akan membuat peluang kandidat semakin besar pula.
Di kabupaten Morowali Utara misalkan, untuk maju menjadi seorang calon Bupati Morut di perlukan minimal 5 kursi partai politik di DPRD Morut, syarat mengusung kandidat.
Sudah menjadi rahasia umum, bahkan di ungkap oleh politisi di Morut untuk maju menjadi calon Bupati di perlukan dana 1 Miliar 1 kursi. Artinya minimal 5 Miliar wajib di sediakan untuk mendapatkan ‘perahu politik’ bertarung di Pilkada.
“Rata-rata 1 M 1 kursi, jadi minimal 5 M harus siap untuk dapat rekomendasi parpol. Itu baru rekomendasi. Karna lebih dari 1 pintu lobi-lobi partai politik. Biasanya seperti yang terjadi pemilu sebelumnya, salah satu partai itu ada 3 kandidat dapat rekomendasi. Tetapi hanya 1 kandidat yang akhirnya dapat B1KWK untuk mendaftar di KPU Morut,”ungkap sumber media ini (26/3)
Bahkan kader partai politik yang kursinya sudah memenuhi syarat pencalonan belum tentu mendapatkan rekomendasi. Karna banyak kandidat yang juga melakukan lobi ke partai pemenang pemilu.
“Kalau rekomendasi semua kandidat bisa saja dapat, tapi kita lihat siapa yang mendaftar di KPU nanti,’ungkap sumber kami yang lain
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya mahar politik. Di antaranya terdapat pada UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Dalam Pasal 47, disebutkan bahwa “partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati dan walikota”.
Peraturan melarang mahar politik juga terdapat pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya di Pasal 228 yang menyebutkan “Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden”. Di pasal yang sama juga disebutkan larangan bagi orang atau lembaga untuk memberikan imbalan kepada partai politik dalam proses pencalon presiden dan wakilnya. Aturan mengenai mahar politik tersebut memuat sanksi yang tegas, yaitu larangan bagi parpol untuk mengajukan calon pada periode berikutnya. Namun faktanya mahar politik itu menjadi lumrah dalam setiap perhelatan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah.