Covid-19 dan buruknya sistem Pendidikan kita
Oleh : Sri Nanda Dotutinggi
Virus Corona atau COVID-19 adalah virus yang menyerang sistem pernapasan manusia. Virus ini masih masuk dalam kategori SARS yang sempat merebak beberapa tahun lalu.
Sampai saat ini belum diketahui penyebab dari virus Corona, tetapi diketahui virus ini disebarkan oleh hewan dan mampu menjangkit dari satu spesies ke spesies lainnya, termasuk manusia. Diketahui virus Corona berasal dari Kota Wuhan di China dan muncul pada Desember 2019. (Sumber m.detik.com).
Satu bulan belakangan ini sejak munculnya kasus positif covid-19 tepat pada tanggal 02 Maret 2020 (sumber kompas.com) di Indonesia. Sampai hari ini tercatat ada 2.273 kasus positif Covid-19, 198 dinyatakan meninggal dunia dan 164 berhasil sembuh dari Covid-19 (data 4/4).
Di Sulawesi Tengah sendiri per tanggal 5 April 2020 tercatat ada 5 kasus positif, dua orang dinyatakan sembuh, dua orang diantaranya meninggal dunia sementara satu orang lagi sedang menjalani perawatan di rumah sakit.
Setiap harinya angka kasus tersebut akan terus bertambah jika melihat proses penanganan yang lamban di tengah penularan Covid-19 yang begitu cepat, sehingga menimbulkan kepanikan dan kecemasan berlebih di lingkungan masyarakat, terutama soal ekonomi. Sejak mewabahnya covid -19 tidak hanya penduduk Indonesia yang mengalami kesulitan ekonomi, bahkan perekonomian duniapun sedang berada di ambang resesi ekonomi yang paling mengerikan sepanjang sejarah.
Itu sebabnya pemerintah berupaya mencari strategi yang di anggap jitu dengan menganjurkan “Physical distance” terakhir melakukan kebijakan Pen-jarak-an berskala besar guna memutus rantai penularan Covid-19 di tanah air. Dalam skema penanggulangan pandemi seperti ini, Jokowi terlihat mau melakukan dua hal sekaligus yakni menstabilkan perekonomian dan meredam laju penurunan Covid-19, meskipun saya pesimis itu bisa dikerjakan secara bersamaan. Rezim Jokowi masih sulit mematikan ambisi pertumbuhan 6-7% ekonomi di masa pemerintahannya, itu sebabnya pertimbangan Lock down tidak dilakukan.
Apapun pilihan Jokowi dalam memutus laju panularan Covid-19, Jaminan sosial kepada masyarakat harus tersedia selama masa penjarakan berskala besar ini dilakukan. Tidak hanya itu, ketersedian APD (alat pelindung diri) untuk tenaga kesehatan masih sangat minim, alat tes akurat yang bertujuan untuk mengetahui seseorang yang sudah terpapar oleh virus dengan cepat juga belum tersedia secara massal, sehingga ada banyak kasus pasien harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil yang akurat, belum lagi pergerakan orang tanpa gejala (OTG) yang sulit di deteksi, ini juga menjadi evaluasi penting kepada pemerintah mengenai sistem kesehatan kita hari ini.
Dalam dunia pendidikan sendiri, situasi pandemi ini banyak menimbulkan masalah hingga menuai banyak protes, dimana sistem pembelajaran yang diberlakukan di perguruan tinggi seperti sistem pembelajaran dalam jaringan (Daring) yang dapat diakses melalui beberapa aplikasi banyak menuai kritik oleh sebagian intelektual muda, Bagi saya metode pembelajaran seperti itu bukanlah menjadi sebuah problem pokok, sebab ilmu pengetahuan (apapun itu) tidak mesti pakai metode bertatap muka secara langsung, ataupun hanya bersumber dari ruang formal seperti kampus, hasil dialektika ilmu pengetahuan memang harus mewajibkan semua penduduk bumi untuk lebih interaktif dan kreatif melakoni prodak dari hasil revolusi 4.0, suka atau tidak, siap atau tidak siap dialektika “memaksa” kita harus lebih beradaptasi dengan hal-hal demikian.
Problem pokok yang harus kita beri perhatian khusus adalah soal sistem pendidikan dan kesehatan di tanah air. Dalam kasus pandemi corona virus yang semakin mengganas di Indonesia, mampu menyibak buruknya sistem pendidikan dan kesehatan yang kita miliki saat ini.
Sistem pendidikan yang semakin bercita rasa pasar menjadi salah satu kendala bagi kita memutus ganasnya penularan Covid-19, tidak hanya masalah kesehatan hari ini, tapi di masa yang akan datang.
Jika merujuk data IDI (Ikatan Dokter Indonesia), jumlah dokter di seluruh Indonesia sekitar 168 ribu orang, sudah terbagi ke dalam kategori dokter umum maupun yang spesialis. Ironinya, jumlah 168 ribu orang tersebut lebih tersentral di Kota-kota besar, sementara di kawasan bagian timur Indonesia masih sangat minim tenaga medis khususnya dokter.
Data IDI tersebut memberikan “signal” kepada pemerintah bahwa betapa kesehatan dan pendidikan itu begitu sulit untuk di akses oleh semua anak bangsa. Bayangkan saja, jika dengan jumlah 168 orang dokter harus melayani jutaan rakyat Indonesia, bagaimana jika seandainya 40% rakyat Indonesia terserang penyakit mematikan? Bagaimana jika 10% penduduk kawasan timur Indonesia mengalami hal yang sama, apakah tenaga dokter dan infrastruktur kesehatan bisa terjamin? Jika dilakukan perbandingan, maka 1 orang dokter menangani 1000 pasien (1:1000). Ini pertanyaan yang sulit mendapat jawaban pasti dengan angka dan fakta yang justru meunjukan hal yang berbeda.
Pandemi corona virus ini harus menjadi acuan bagi pemerintah untuk segera meninjau kembali sistem pendidikan dan kesehatan kita. Biaya pendidikan haruslah mudah di jangkau oleh siapa saja khususnya Fakultas Kedokteran. Ada banyak generasi berkompeten yang kita punya di negeri ini, tapi harus menguburkan potensi kecerdasannya hanya karena biaya kedokteran yang sulit di jangkau. Sehingga, Fakultas Kedokteran hanya sekedar menjadi Fakultas yang di isi oleh sekelompok kelas mapan saja. Alhasil, kita kekurangan tenaga medis yang ahli saat berhadapan dengan pandemi semacam ini.
Belum lagi soal infrastruktur kesehatan, hal terkecil seperti masker, APD dll masih menjadi promblem dasar dalam dunia medis kita. Begitupun dengan rumah sakit, perbandingan rumah sakit swasta dan negeri berkisar 60:40 (Data persatuan rumah sakit Indonesia). Artinya, pemerintah tidak serius benahi urusan kesehatan rakyatnya sendiri, malah sibuk membangun hal-hal yang kurang produktif, padahal kesehatan adalah kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia.
Berkacalah dari Kuba, Kuba bisa lebih “Apple to apple” jika menjadi rujukan ketimbang Tiongkok atau Singapura yang cenderung lebih punya tenaga produktif yang lebih maju.
Kuba merupakan salah satu negara miskin di kepulauan Karibia, Kuba hanya memiliki pendapatan 87 Juta USD, bandingkan dengan Indonesia yang punya 1 Triliun USD sangat jelas perbedaannya. Tapi, dalam soal kesehatan Kuba menjadi salah satu rujukan negara maju dalam dunia kesehatan.
Apa kata kuncinya? Keseriusan negara dalam memberi jaminan kesehatan pada rakyatnya. Kuba menjalankan kebijakan sesuai mendat konstitusinya, itu sebab pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas pemerintahnya, disana pendidikan bersifat universal, semua orang berhak mendapatkan akses pendidikan termasuk pendidikan kedokteran. Terlihat kontras jika melihat peran pemerintah terhadap dunia kesehatan dan pendidikan kita saat ini.
Corona virus ini menjadi alasan paling rasional bagi pemerintah untuk segera beralih dari sistem yang berbasis pada kepentingan individu ke sistem yang mengutamakan keselamatan banyak orang, ada banyak fakta menunjukkan betapa rapunya negara-negara yang mengadopsi sistem Kapitalisme neoliberal dalam menghadapi pandemi corona virus yang sudah mengglobal.
Kedepan, masa depan negara di tentukan oleh dua hal yakni Pangan dan kesehatan. Negara yang rapuh dalam kedua hal tersebut akan memiliki masa depan suram di masa mendatang, dan keduanya hanya bisa diperoleh dengan baik jika sumber daya manusianya mendapat kepastian dan jaminan kemudahan mengakses dari pemerintah dalam bentuk pendidikan yang murah berkualitas, demokratis dan ilmiah.
Penulis : Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Kota Palu (EK LMND Palu)