Sekertaris Desa (Sekdes) Maralee mundur ditengah pandemik covid-19, memantik pertanyaan sejumlah pihak.
BERITA MORUT, PETASIA- Alkasalam Tunggele sekdes Maralee, Kecamatan petasia barat, Kabupaten Morowali Utara(Morut), berdasarkan surat pribadi kepada kepala desa Harman Palesa, menyatakan mundur dari jabatan sekdes.
Minggu 10 mei 2020, media berita morut meliput kegiatan musyawarah desa penetapan penerima manfaat BLT, senilai Rp.600.000 di balai desa maralee.
Musyawarah yang berakhir sampai pukul 23.45 Wita ini menyepakati 43 KK warga desa maralee sebagai penerima manfaat. Namun tidak hadirnya sekdes dalam kegiatan, dan rumor yang beredar soal konflik internal antara sekdes dan kades, mendorong media ini melakukan klarifikasi kepada kedua pejabat pemdes maralee tersebut.
Alkasalam Tunggele yang dikonfirmasi melalui sambungan telpon (10/5), mengatakan, “saya sudah tidak aktif di sekdes, dan sudah menyampaikan surat pribadi pengunduran diri kepada kades, itu per bulan april, namun saya lupa persis tanggalnya, karna harus mengecek dokumen”,ujarnya.
Ketika ditanya mundurnya sekdes apakah terkait pengelolaan dana, Acha sapaan akrab sekdes dengan ragu-ragu menjawab, “ehhh,,ada persoalan pribadi saja, sebaiknya kita komunikasi langsung ke depan lebih bagus untuk membicarakan hal tersebut”,ujarnya.
Pagi ini 11 mei 2020 kami melakukan konfirmasi kepada kades maralee Harman palesa terkait kebenaran mundurnya sekdes, “Sekdes memang menyampaikan pribadi, saya belum membuat surat pemberitahuan kepada Pemerintah kecamatan terkait hal tersebut, karna saya membuka komunikasi jika ada persoalan pribadi yang harus kita bicarakan, kalau terkait bantuan, dan pengelolaan dana harus dipahami, bahwa apa yang diputuskan dengan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk soal ASN yang menerima bantuan sembako dari dana desa, memang mereka ada gaji, namun saya tau kondisinya, karna manajemen keuangannya yang salah, sehingga kesulitan ditengah kondisi ini dialaminya”,tutur Kades.
Sikap kedua pejabat desa tersebut sangat disayangkan sejumlah warga, dan ini menunjukan bahwa masuknya bantuan didesa, selalu memantik konflik internal pemdes jika transparansi tidak dijadikan dasar berpijak dalam mengelolah keuangan desa. Ini sekaligus menggambarkan bahwa pandemik corona, bukan hanya bencana wabah, tetapi bergeser menjadi bencana kepemimpinan, dan keteladanan.
Pemimpin harus mampu meredam egonya, dan bisa segera duduk bersama dalam satu meja diskusi. Dan harus selalu diingat bahwa pengelolaan semua bantuan didesa dilakukan dengan baik, jika tidak maka jalan panjang untuk tersangkut masalah pidana akan menjadi ujung dari konflik yang terjadi.***(Foto: Sabda Juni Mauruh)
REDAKSI